Sedikit mengisahkan pengalamanku bersama hujan, mengapa ia begitu istimewa bagiku.
Hujan bagiku laksana harapan, ia memberiku hidup.
Hujan laksana telaga, melepaskan dahaga.
Hujan laksana cinta, memberi keteduhan.
Hujan laksana bulan, mengisyaratkan bahwa mentari masih bersinar.
12 tahun silam...
Dari jendela tetanggaku aku menatapmu..
Dari teras rumah sepupuku, aku menghirup kesejukanmu..
Dari sudut salah satu kamar di rumah nenekku, aku menyimak syairmu yg syahdu.
Aku pernah membaca pndapat salah satu sahabatku di media ini tentang hujan. "Hujan menyamarkan air mata"
Ya.. Benar..
Itu yg sering ku lakukan.. 12 tahun silam..
Jika rasa rindu ini begitu menyiksa, aku menghampirimu dan menatap arah sumber kedatanganmu..
Laki laki tidak boleh menangis.. Ya.. Tidak boleh menangis.
Jika begini, tidak ada yg tahu aku menangis..
Melalui jendela tetanggaku, kau hadirkan lukisan wajah ibuku..
Melalui teras rumah sepupuku, kau mengingatkan tentang hangatnya cinta ibu..
Di kamar nenekku, kau hadirkan suara merdu ibuku..
Sudah berapa bulankah aku ditinggalkannya..
Akan berapa lama lagi aku harus menantinya..
Akankah ibu kembali padaku..
Akankah ayah kembali membawa ibu pulang..
Aku benar benar asing dgn istilah operasi, sinar dan kemoterapi..
Yang ku tahu aku hanya ingin ibu..
Hujan.. Adakah kau mendengar rintihanku..
Akankah kau akan menyampaikan rintihan ini kepada yg mengirimmu padaku..
Hujan hanya menjawab dgn desirannya...
Hingga kini, hujan msh tetap mengisyaratkan masa itu.
Terima kasih ya Allah, telah menjawab rintihanku..
Terima kasih ya Allah, telah mengirimkan hujan sbg teman baikku..
13 Ramadhan 1431
23 Agustus 2010
di sudut kamar kos, jalan dr mansur, gg sipirok no. 11 Medan.
Dalam diam dan kekakuanku di dalam keluarga, aku sungguh sangat mencintai ibu, ayah dan adikku. Beri aku waktu untuk mengukir senyum, melukis tangis haru di wajah ayah, ibu dan adik.
Rabu, 25 Agustus 2010
Langganan:
Komentar (Atom)
