Parameter dari sebuah ketetapan biasanya berupa angka-angka disertai dengan satuan-satuannya tersendiri. Satuan adalah symbol kualitatif, yang menunjukkan karakter ketetatapan tersebut, sementara angka-angka menunjukkan kuantitas, seberapa besar ketetapan itu punya nilai. Contoh, luasnya sebuah area ditunjukkan oleh satuan m2 (meter persegi), volume ditandai dengan liter, satuan dari massa adalah gram, dan sebagainya. Sementara nilainya nitunjukkan oleh angka-angka yang disertai oleh simbol-simbol tersebut.
Hidup ini adalah ketetapan Allah yang harus kita jalani. Pertanyaannya adalah, bagaimana cara kita menganalisa nilai kulitatif dan kuantitatif kehidupan ini? Apakah kualitas hidup kita baik? Dan apakah kuantitas nilai hidup yang kita miliki baik pula?
Dalam hidup, nilai kualitas ditandai dengan perilaku, adab, kelurusan hidup, sifat dan sikap. Secara ringkas, kualitas hidup akan terpancar dari kelurusan akidah yang kita miliki. “Salimul Aqidah”, itulah yang membedakan kita dengan “orang lain”. Akidah yang lurus adalah karakter dari seorang muslim, Akidah yang benar merupakan identitas kita sebagai khairu ummah, Akidah yang lurus inilah yang membawa keridhoan Allah, sesuai dengan firmannya:
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab[189] kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (QS. Ali-Imran:19)
“Maka Apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, Padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (QS:Ali-Imran:83)
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.” (QS: Ali-Imran:85)
“………….pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu……..” (QS: Al-Maidah:3)
“Maka Apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS: Az-Zaumar:22)
Kemudian kita beralih dari analisa kulitatif ke analisa kuantitatif. Apa parameter kita dalam hidup ini melihat apakah kita ini seorang yang memiliki akidah yang lurus tersebut. Sebelumnya kita pahami dahulu mengenai parameter kuantitas ini, kuantitas biasanya ditunjukkan oleh nilai-nilai pasti dan terhitung, apakah itu menunjukkan jumlah angka, derajat panas, ataupun kuatnya getaran. Intinya adalah, untuk mengukur ini kita perlu adanya nilai-nilai yang tampak untuk membacanya.
Dalam hidup, amal merupakan suatu parameter apakah ia adalah seorang yang baik atau tidak. Ini terlepas dari niat dan maksud yang tersembunyi di hatinya, krn hal itu cukup bahasannya di penghitungan skala kualitatif diri. Pohon yang berbuah banyak tentu tidak sama dengan pohon yang sedikit buahnya, kantong yang besar tentu tidak sama dengan kantong kecil, motor balap yang berkecapatan tinggi tentunya tidak sama dengan motor bebek yang biasa kita kendarai. Ada nilai yang berbeda dalam kuantitas, walau dalam bentuk amal sama.
Kualitas keimanan juga dapat dibaca melalui amalan-amalan yang dilakukan seseorang. Tidaklah mungkin, seseorang yang imannya sedang jatuh, amal ibadahnya melangit dari biasanya, begitu juga sebaliknya. Namun, untuk mengatasi agar iman itu tidak terperosok ke dasar jurang, meningkatkan amal ibadah adalah salah satu solusinya. Karena seiring dengan meningkatnya amal ibadah, maka keimanan juga akan naik.
Mari kita ulas ayat berikut:
“Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah: 105)
Ayat ini menurut Imam Ar-Razi mengandung seluruh yang dibutuhkan seorang mukmin baik mengenai agama, dunia, kehidupan, dan akhiratnya. Dari susunan kata dalam ayat tergambar dua hal: di satu sisi tampak nada targhib (dorongan) bagi orang-orang yang taat, dan di sisi lain nampak nada tarhib (ancaman) bagi orang-orang yang berbuat maksiat. Maksudnya, bersungguh-sungguhlah kamu untuk berbuat sesuatu demi masa depanmu karena segala perbuatanmu akan mendapatkan haknya di dunia maupun di akhirat. Di dunia perbuatan tersebut akan disaksikan Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin. Jika berupa ketaatan, ia akan mendapatkan pujian dan pahala yang besar di dunia dan akhirat. Namun, jika berupa kemaksiatan ia akan mendapatkan hinaan di dunia dan siksaan yang pedih di akhirat. (Imam Ar-Razi. Mafatihul ghaib. Bairut, Darul fikr, 1994, vol. 16, h. 192).
Syeikh Rasyid Ridha dalam tafsirnya Al-Manar menerangkan makna ayat tersebut begini: Wahai Nabi, katakan kepada mereka bekerjalah untuk dunia, akhirat, diri dan umatmu. Karena yang akan dinilai adalah pekerjaanmu, bukan alasan yang dicari-cari; pun bukan pengakuan bahwa Anda telah berusaha secara maksimal. Kebaikan dunia dan akhirat pada hakikat tergantung pada perbuatan Anda. Allah mengetahui sekecil apapun dari perbuatan tersebut, maka Allah menyaksikan apa yang Anda lakukan dari kebaikan maupun keburukan. Karenanya, Anda harus senantiasa waspada akan kesaksian Allah, baik itu berupa amal maupun berupa niat, tidak ada yang terlewatkan. Semuanya tampak bagi-Nya. Oleh sebab itu Anda harus senantiasa menyempurnakannya (itqan), ikhlas, dan mengikuti petunjuk-Nya dalam menjalankan ketaatan sekecil apapun (lihat, Rasyid Ridha. Tafsir Al Manar. Tanpa tahun, vol. 11, h. 33).
Inti dari ayat ini adalah, Allah memerintahkan kita untuk beramal. Jangan hiraukan bisikan kiri dan kanan, jangan terpengaruh oleh bujukan dan rayuan. Jangan gentar oleh ancaman yang menghadangmu untuk menghentikan amal-amal ibadahmu. Jadi… Mulailah! Bergeraklah! Bergeraklah! Bekerjalah! Mari kita potensikan segala kemampuan diri untuk beramal. Mari kita bekerja, niscaya Allah akan melihat kerja-kerja nyata kita, Rasullullah akan melihat kerja-kerja kita, dan seluruh orang-orang yang ada iman di hatinya akan melihat pekerjaan kita. Luruskan niat hanya untuk mencari Ridho Allah, meraih syurganya dan bertemu sang kekasih hati; Rasulullah Muhammad saw, bulatkan tekad dan sehatkan jiwa dan raga.
Wallahu’a’lam bisshowab….
Terinspirasi dari iklan Munas PKS dan taujih pada saat Mabit sabtu 07 Rajab/19 Juni 2010
Sabtu, 24 Juli 2010
DARI RUMPUT LIAR KEPADA ILALANG
Sahabatku yang baik, tahukah dirimu? Ketika kamu sakit aku juga merasakan sakit, ketika kamu senang aku juga merasa bahagia. Sebagaimana yang digambarkan oleh seorang manusia yang sama-sama kita muliakan, junjungan kita Rasulullah Muhammad SAW yang mengatakan, sesungguhnya muslim itu ibarat satu tubuh, jika satu bagian yang sakit bagian lain juga ikut merasakannya.
Sahabat, tahukah dirimu? Ketika ada berita buruk tentang dirimu aku berusaha menepisnya. Aku berusaha mencari berjuta alasan untuk membelamu. “Carilah seribu satu alasan agar kamu tidak bersu’udzon terhadap saudaramu”, kata itu sering terngiang-ngiang di telinga kita. Dan dari semua itu terjalinlah persahabatan kita yang kokoh. Yakinlah sahabatku, dimataku tidak ada satupun celaan tentang dirimu dihatiku.
Sahabat, tahukah dirimu? Peribadi-peribadi kita tak ada satupun yang sempurna, pastilah ada dibalik kelebihan yang kita miliki di sudut sana terdapat kekurangan. Begitu juga sebaliknya, di dalam ruang cacat diri kita pastilah disebelahnya terdapat ruang kelebihan. Boleh jadi ketika tanganku lemah untuk menggenggam maka Allah mengutusmu yang mempunyai genggaman kuat sebagai sahabatku, agar kamu bisa meminjamkan tanganmu padaku. Begitu juga sebaliknya, ketika kamu merasa kesulitan dalam melangkah, Allah mengutus aku yang memiliki langkah yang kokoh sebagai sahabatmu, agar kamu bisa meminjam kakiku untuk melangkah. Wahai sahabat, kelebihanku untuk menutup kekuranganmu, dan kelebihanmu untuk menutup kelemahanku.
Sahabatku, kadangkala mataku menatapmu dengan tajam, lidahku berucap dengan pedas, tanganku menampar dengan keras, namun yakinlah teman, tak sedikitpun terbersit kebencian di hatiku. Apakah aku pantas membenci saudara yang dengan kecemerlangan fikirannya menuntunku & dengan kefasihan lidahnya mengajariku? Apakah aku pantas membenci saudara seiman yang bersama-sama tubuh ini terhempas ombak, tertiup angin, terbakar bara api, terinjak-injak, dan terancam dengan todongan senjata di kepala?
Sahabatku yang baik, setiap kebaikan dari dirimu akan selalu ku ingat, dan setiap kakhilafan yang kau lakukan tentu saja telah kumaafkan. Bisa saja aku memendam dendam terhadapmu, namun aku tidak yakin lebih baik darimu dan tidak yakin pula bahwa diri ini tidak pernah menyakitimu. Bisa saja aku jauh lebih sering berbuat kesalahan, karena itu aku tidak mungkin mengingat-ingat detail kesalahanmu sementara dosa-dosaku terhadapmu berhimpitan di atas kepalaku.
Sahabat, ketika aku memberikan nasehat kepadamu bukanlah semata-mata bermaksud mengguruimu dengan kata-kata. Namun itu semua aku lakukan atas dasar cintaku padamu karena Allah SWT. Aku memberikan nasehat kepadamu bukan pula membuktikan aku lebih shaleh dan pintar darimu, namun itu semua aku tujukan terhadap diriku sendiri. Nasihat yang ku berikan kepadamu selalu saja aku balikkan pada diriku sendiri, aku menasihatimu agar aku senantiasa lebih kuat menjalani segala permasalahan. Selain itu besar harapanku dirimu menambahkan nasehat yang lebih berapi-api dengan kehalusan kata-katamu yang membuktikan keluhuran budimu wahai sahabat.
Sahabat, berbagai firman dan titah belembar-lembar telah kita goresan, namun masih bertumpuk-tumpuk kertas dan berbotol-botol tinta yang harus kita tuliskan karena keluasan ilmu Ilahi tiada terbendung. Puncak gunung, lembah, padang rumput, gurun pasir kita tapaki bersama, namun masih luas bumi Allah ini yang harus kita pijak selangkah demi selangkah. Sungai, danau, lautan dan samudera kita selami, namun apa yang terjadi sahabat? Aku tetap saja tidak bisa sampai ke dasarnya karena dalamnya samudera. Udara negeri ini kita hirup dengan leluasa, langit-langit benua ini dengan seenaknya kita lukiskan dengan kuas imajiner yang kita genggam, awan-awan kadang kala kita tumpuk kadang kala kita hapus, matahari dan rembulan tak marah kita main-mainkan di telapak tangan, bintang-gemintang kita petik sesuka hati. Namun sahabat, mereka tertawa. Awan, rembulan, mentari dan bintang berkata, “Apakah kamu benar-benar mampu menyentuhku?”
Sahabat, ini semua kutuliskan dengan hati. Ku harap dirimu juga membacanya dengan hati. Tiada maksud menyakiti apalagi mendzolimi, hanya ridha ilahi yang aku cari. Entah apa maksud dan tujuan tulisan ini, namun cobalah kamu pahami sendiri, insyaAllah kamu akan menemukan rahasia dibalik kata dan misteri dibalik kalimat. Ucapan maaf sebagai penutup diri, dan salam cinta dari sahabatmu “Rumput Liar”, Uhibbukum Fillah ya Akhi….
Disudut kamar, 09 Jumadil Ula 1431
Sahabat, tahukah dirimu? Ketika ada berita buruk tentang dirimu aku berusaha menepisnya. Aku berusaha mencari berjuta alasan untuk membelamu. “Carilah seribu satu alasan agar kamu tidak bersu’udzon terhadap saudaramu”, kata itu sering terngiang-ngiang di telinga kita. Dan dari semua itu terjalinlah persahabatan kita yang kokoh. Yakinlah sahabatku, dimataku tidak ada satupun celaan tentang dirimu dihatiku.
Sahabat, tahukah dirimu? Peribadi-peribadi kita tak ada satupun yang sempurna, pastilah ada dibalik kelebihan yang kita miliki di sudut sana terdapat kekurangan. Begitu juga sebaliknya, di dalam ruang cacat diri kita pastilah disebelahnya terdapat ruang kelebihan. Boleh jadi ketika tanganku lemah untuk menggenggam maka Allah mengutusmu yang mempunyai genggaman kuat sebagai sahabatku, agar kamu bisa meminjamkan tanganmu padaku. Begitu juga sebaliknya, ketika kamu merasa kesulitan dalam melangkah, Allah mengutus aku yang memiliki langkah yang kokoh sebagai sahabatmu, agar kamu bisa meminjam kakiku untuk melangkah. Wahai sahabat, kelebihanku untuk menutup kekuranganmu, dan kelebihanmu untuk menutup kelemahanku.
Sahabatku, kadangkala mataku menatapmu dengan tajam, lidahku berucap dengan pedas, tanganku menampar dengan keras, namun yakinlah teman, tak sedikitpun terbersit kebencian di hatiku. Apakah aku pantas membenci saudara yang dengan kecemerlangan fikirannya menuntunku & dengan kefasihan lidahnya mengajariku? Apakah aku pantas membenci saudara seiman yang bersama-sama tubuh ini terhempas ombak, tertiup angin, terbakar bara api, terinjak-injak, dan terancam dengan todongan senjata di kepala?
Sahabatku yang baik, setiap kebaikan dari dirimu akan selalu ku ingat, dan setiap kakhilafan yang kau lakukan tentu saja telah kumaafkan. Bisa saja aku memendam dendam terhadapmu, namun aku tidak yakin lebih baik darimu dan tidak yakin pula bahwa diri ini tidak pernah menyakitimu. Bisa saja aku jauh lebih sering berbuat kesalahan, karena itu aku tidak mungkin mengingat-ingat detail kesalahanmu sementara dosa-dosaku terhadapmu berhimpitan di atas kepalaku.
Sahabat, ketika aku memberikan nasehat kepadamu bukanlah semata-mata bermaksud mengguruimu dengan kata-kata. Namun itu semua aku lakukan atas dasar cintaku padamu karena Allah SWT. Aku memberikan nasehat kepadamu bukan pula membuktikan aku lebih shaleh dan pintar darimu, namun itu semua aku tujukan terhadap diriku sendiri. Nasihat yang ku berikan kepadamu selalu saja aku balikkan pada diriku sendiri, aku menasihatimu agar aku senantiasa lebih kuat menjalani segala permasalahan. Selain itu besar harapanku dirimu menambahkan nasehat yang lebih berapi-api dengan kehalusan kata-katamu yang membuktikan keluhuran budimu wahai sahabat.
Sahabat, berbagai firman dan titah belembar-lembar telah kita goresan, namun masih bertumpuk-tumpuk kertas dan berbotol-botol tinta yang harus kita tuliskan karena keluasan ilmu Ilahi tiada terbendung. Puncak gunung, lembah, padang rumput, gurun pasir kita tapaki bersama, namun masih luas bumi Allah ini yang harus kita pijak selangkah demi selangkah. Sungai, danau, lautan dan samudera kita selami, namun apa yang terjadi sahabat? Aku tetap saja tidak bisa sampai ke dasarnya karena dalamnya samudera. Udara negeri ini kita hirup dengan leluasa, langit-langit benua ini dengan seenaknya kita lukiskan dengan kuas imajiner yang kita genggam, awan-awan kadang kala kita tumpuk kadang kala kita hapus, matahari dan rembulan tak marah kita main-mainkan di telapak tangan, bintang-gemintang kita petik sesuka hati. Namun sahabat, mereka tertawa. Awan, rembulan, mentari dan bintang berkata, “Apakah kamu benar-benar mampu menyentuhku?”
Sahabat, ini semua kutuliskan dengan hati. Ku harap dirimu juga membacanya dengan hati. Tiada maksud menyakiti apalagi mendzolimi, hanya ridha ilahi yang aku cari. Entah apa maksud dan tujuan tulisan ini, namun cobalah kamu pahami sendiri, insyaAllah kamu akan menemukan rahasia dibalik kata dan misteri dibalik kalimat. Ucapan maaf sebagai penutup diri, dan salam cinta dari sahabatmu “Rumput Liar”, Uhibbukum Fillah ya Akhi….
Disudut kamar, 09 Jumadil Ula 1431
Langganan:
Komentar (Atom)
